Feature Antara Kita

Feature writing at Antara

“…saya bisa jual hingga puluhan juta….”

Siapa yang dapat menyangka bahwa profesi sebagai penjual uang kuno di pasar baru telah bertahan hingga puluhan tahun selain memberikan penghasilkan bagi mereka yang menjalaninya. Pedangan yang  meramaikan pasar baru tidak dengan bahan – bahan sandang tetapi dengan uang kuno.

Oleh: Roy

Penjual uang kuno di pasar baru merupakan salah satu objek wisata yang cukup menarik, mengapa tidak? Ketika anda berjalan di antara toko-toko yang menjual berbagai barang dapat dilihat uang-uang kuno yang ditampilkan pada etalase sederhana yang seolah-olah membawa imaji sang pengunjung akan romantika uang kuno indonesa di masa lalu.

Karena alasan pariwisata inilah walikota memprioritaskan pedagang uang kuno ketimbang pedagang kaki lima. Kesempatan inilah yang membuat penjual uang kuno di pasar baru tidak dikutip pungutan oleh pemda. Jika anda menyempatkan diri menyimak interaksi antara penjual uang kuno dan toko disekelilingnya, dapat dilihat seolah-olah penjual toko ini tidak terganggu oleh kehadiran penjual uang kuno.

Adalah suwardi, pria kelahiran 1937 yang sebelum tahun 1978 menjual yang dollar, memperluas usahanya dengan menjadi penjual uang kuno dipasar baru. Suwardi bekerja dengan bebas dari jam 11 hingga jam 6 sore pada hari biasa atau hingga 5 sore pada hari minggu dengan tiada hari libur baik pada hari raya keagamaan atau tanggal merah. Suwardi tampak senang dengan profesi menjual yang kuno, seperti yang dikatakannya, “Yah sesanggupnya saya untuk bekerja, kalau tidak ada halangan saya akan berjual, kalaupun berhalangan , anak saya dapat menggantikannya untuk berjualan.”

Keuntungan dari penjualan uang kuno ini bervariasi, biasanya semakin lama tanggal terbit uang, akan semakin tinggi nilai jualnya. “Terkadang saya bisa jual hingga puluhan juta…. “ ujar suwardi. Menurut pengalamannya, uang termahal yang pernah ia jual adalah uang seribu rupiah keluaran tahun 1960 yang bergambar soekarna. Lanjut sowardi, “Saya bisa menjual hingga 2 sampai 3 juta rupiah perlembar uang soekarno tersebut “. Omset hasil penjualan uang kuno ini cukup lumayan, suwardi sang penjual uang kuno dapat menyekolahkan seluruh anaknya hingga Setara SMA walaupun ia mengeluh “sekarang beda…. dulu 1 rupiah sudah cukup untuk semuanya…. sekarang gag mungkin cukup dengan uang segitu.”

Saat yang membahagiakan bagi seorang penjual uang kuno adalah mendapatkan uang dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Omset yang lumayan juga diiringi dengan resiko yang tidak kecil juga, seperti mendapatkan uang palsu. “Saya pernah mendapatkan uang palsu, tetapi siiring pengalaman…saya tahu bagaimana membedakan uang palsu dari dalam dan luar negeri…” ujar suwardi ketika ditanya mengenai keahliannya sebagai penjual uang di pasar baru.

Pelanggan uang kuno pun banyak beragam misalnya saja kolektor yang berburu di etalase penjual uang untuk melengkapi koleksi uang nya. Banyak diantara merupakan pelanggan tetap dari para penjual uang ini. Ada juga yang memang digunakan untuk investasi, dimana mereka membeli uang dari penjual uang ini untuk dijual disuatu hari kelak sambil mereguk keuntungan atas kenaikan harga jual uang kuno di masa depan. Hal ini jelas dapat terjadi karena semakin kuno suatu uang akan semakin tinggi harga jualnya.

Seiring jaman, muncul tren baru dimana mata uang dijadikan sebagai mahar. Biasanya mahar ini dapat dilihat saat digunakan sebagai mas kawin atas suatu pernikahan.Misalnya untuk membilang tahun 2004 diperlukan 1 uang sebesar 2000 rupiah dan 4 uang sebesar 1 rupiah. Tren seperti ini banyak muncul dikalangan para kaum muda saat ini. Tren-tren seperti inilah yang juga memungkinkan para penjual uang kuno tetap dapat bertahan sebagai profesi yang unik dari sedemikian banyak profesi di pasar baru.

DEMI UANG SUWARDI MENJUAL UANG

Oleh : Rijanta Felix

Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk hidup layak, berkecukupan dan hidup lebih baik. Namun sesungguhnya tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui nasib mereka. Suwardi pun tak pernah tahu sebelumnya, jika dalam hidupnya ia harus menjual uang demi mendapatkan uang.

Awalnya bermula ketika Suwardi, pria kelahiran Padang, 76 tahun yang lalu itu mencoba untuk mengadu nasibnya dengan merantau ke Jakarta.  Tahun 1957, Suwardi muda tiba di Jakarta dan memulai karirnya sebagai pedagang dengan menjual mainan anak-anak di daerah Pasar Baru. Setelah beberapa tahun berjualan, hasilnya belum memuaskan. Sampai pada suatu hari ayah dari enam orang anak itu bertemu dengan banyak orang asing yang ingin menukar mata uang dollar. Melihat adanya peluang, ia membeli dollar tersebut dan menjualnya kembali dengan keuntungan yang besar.

Sejak saat itu, tepatnya pada tahun 1962, Suwardi pun memutuskan untuk berdagang uang asing. “Selisih keuntungan yang besar dan belum banyaknya saingan serta money changer pada saat itu, menjadi alasan mengapa saya berjualan mata uang asing ”, ungkap Suwardi ramah ketika ditemui di ruang kelas LPJ Antara.

Setiap perjalanan hidup manusia pasti mengalami pasang surut, begitu juga yang dialami kakek bercucu dua belas itu. Suwardi pun pernah ditangkap polisi perintis dan dimasukan ke sel tahanan selama enam bulan. “Saat itu adalah masa-masa PKI dan berjualan mata uang asing adalah sesuatu yang diharamkan. Saya harus sembunyi-sembunyi dalam berjualan, namun akhirnya ketahuan juga dan saya ditangkap. Itu adalah salah satu duka saya dalam berdagang uang, selain sering mendapat uang palsu”, kenangnya.

Masa surut perjalanan hidup kakek yang pernah menikah dua kali itu belum berakhir sampai di situ. Dengan bubarnya PKI, jatuhnya Soekarno, dan terbentuknya pemerintahan yang baru menyebabkan banyak lapangan usaha baru yang mulai terbuka. Jasa Money Changer pun mulai bermunculan. Suwardi pun kalah bersaing dengan Bank dan Money Changer tersebut.

Meski demikian, pria yang menjadi saksi hidup sejarah perkembangan Pasar Baru itu bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia adalah orang yang gigih, selalu mau berusaha dan tak pernah berhenti belajar. “Saya senang belajar. Saya senang membaca buku tentang mata uang dan saya dulu pernah ke bioskop hanya untuk belajar Bahasa Inggris dengan memperhatikan dialognya”, tutur Suwardi sambil tersenyum lebar memamerkan giginya yang mulai habis termakan usia.

Dalam situasi sulit, Suwardi berhasil menjadi kreatif dan jeli dalam mencari alternatif baru dalam bedagang. Uang kuno menjadi barang dagangan utamanya disamping mata uang asing. Ternyata pengamatannya tidak keliru. Sejak saat itu sampai sekarang, banyak orang mencari uang kuno untuk mahar pernikahan atau sekedar untuk koleksi. “Saya pernah menjual uang kertas pecahan seribu rupiah edisi Bung Karno cetakan tahun 1960 seharga dua hingga tiga juta rupiah per lembarnya”, kata Suwardi yang mengaku berpenghasilan rata-rata tiga juta rupiah per bulannya.

Dengan menjual uang, Suwardi pun mendapat penghasilan yang cukup untuk kebutuhan hidup sehari-harinya. Ia pun merasa bahagia karena sanggup menyekolahkan semua anaknya meski hanya sampai SMA. Anak-anaknya pun sekarang semuanya sudah bekerja dan ada satu orang yang membantu usaha dagangnya. “Selama saya masih sehat, saya masih ingin terus berjualan dan saya juga berharap anak saya kelak akan terus melanjutkan usaha ini”, tutup Suwardi yang hari itu berkopiah hitam, berbaju safari, dan sekilas mirip pejuang veteran.

 -RFJ-

SIN TEK BIO, KELENTENG TUA DARI PASSER BAROE

Oleh: Fuad Mahfudin

Sin Tek Bio

Papan arah ke lokasi kelenteng Sin Tek Bio

Keberadaan Pasar Baru sarat dengan sejarah Batavia tempo doeloe. Pusat perbelanjaan ini dibangun pada tahun 1820 sebagai Passer Baroe sewaktu Jakarta masih bernama Batavia. Sudah hampir dua abad lamanya. Namun ada sebuah kelenteng di kawasan Pasar Baru yang usianya lebih tua dari Pasar Baru itu sendiri. Kelenteng itu bernama Sin Tek Bio, dibangun pada tahun 1698.

Sabtu siang, di lorong jalan Pasar Baru, Aku, Budi dan Roy sepakat mengunjungi kelenteng Sin Tek Bio. Kunjungan kami selain untuk menambah wawasan mengenai sejarah dan arsitektur kelenteng, juga ingin mengenal lebih dekat ajaran dan filosofi Budha.

Sampai di perapatan jalan, kami belok memasuki gang Kelinci. Kira-kira 10 meter sebelum Bakmi Gang Kelinci, ada sebuah jalan sempit untuk ke lokasi kelenteng Sin Tek Bio. Lebarnya hanya cukup dilalui dua orang pejalan kaki. Suasananya ramai, banyak kedai dan warung jajanan tradisional. Diantaranya ada yang menjual siomay, buah-buahan dan cakwe.

Suasana gang

Gang yang kami lalui memang “Jakarta banget”: ramai dan semrawut. Jalan gang meliuk-liuk bak ular. Dan lebar jalan semakin menyempit. Ada selokan kecil di kanan-kiri jalan. Sampah di mana-mana. Jauh dari nuansa rapi dan tertib. Kios-kios tidak tertata baik. Mungkin karena pedagang di kawasan ini kurang memilki kesadaran terhadap kebersihan dan tata letak kios yang benar.

Semakin ke dalam, suasana hiruk-pikuk kedai dan kios berganti dengan padatnya rumah penduduk. Rumah-rumah dengan teras kecil dan simbol pentagram Yin-Yang menggantung di pintu masuk. Ada juga gudang-gudang kecil, dan sampah yang menumpuk di sudut pojok dinding gang. Satu-dua, beberapa orang sedang duduk-duduk, melamun, ngobrol-ngobrol di emperan rumah.

Atmosfir dan kondisi kelenteng

Akhirnya kami sampai di kelenteng Sin Tek Bio. Atapnya kental dengan  gaya tradisional Tiongkok. Temboknya didominasi oleh warna merah. Aroma Hio di sekitar kelenteng cukup menyengat. Ruang altar utama diterangi oleh ratusan cahaya api dari lilin yang tersusun.

Dua patung naga yang meliuk-liuk di kolom seakan menyambut kedatangan kami. Lampu-lampu lampion memancarkan cahaya kemerahan, menghiasi langit-langit klenteng. Ragam hias ukiran, lukisan para dewa, kalimat-kalimat filosofis, menciptakan atmosfir yang kental dengan nuansa relijius Budha.

Di samping ruang altar kami bertemu dengan pengurus kelenteng. Kedatangan kami disambut ramah. Pengurus kelenteng yang sekilas mirip dengan sosok Acong di film serial Tukang Bubur Naik Haji ini memiliki nama lengkap Susanto Wiyoto.

“Bangunan kelenteng ini sudah beberapa kali dipugar, sehingga banyak perubahan dari  bentuk aslinya”, tutur Susanto yang sudah puluhan tahun menjadi pengurus kelenteng. Jemaat yang beribadah di kelenteng ini, bukan hanya dari sekitar wilayah Pasar Baru, tetapi dari seluruh pelosok nusantara, bahkan sampai negeri tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Menurut Susanto kelenteng Sin Tek Bio didirikan pada tahun 1698 oleh para kapiten dan saudagar Tiongkok yang datang ke Batavia.

Selain beberapa kali mengalami pemugaran ternyata kelenteng ini juga sudah beberapa kali ganti nama. Pada awalnya bernama Het Kong Sie Huis. Perubahan nama menjadi Sin Tek Bio diduga setelah dibukanya Passer Baroe pada tahun 1820. Sejak itulah kelenteng Het Kong Sie Huis menjadi Sin Tek Bio atau Kelenteng Pasar Baru. Dan kemudian pada tanggal 12 Mei 1982 diubah namanya menjadi Vihara Dharma Jaya, dan dikelola oleh Yayasan Vihara Dharma Jaya.

“Dug.., dug.., dug..”, ketika kami sedang serius mendengarkan penjelasan dari Pak Susanto, tiba-tiba terdengar suara bedug membahana dari dalam kelenteng. Aku melihat ada seorang pemuda yang sedang sembahyang di altar utama. Tidak jauh dari pemuda itu ada seorang pelayan kelenteng sedang menabuh bedug. Adanya bedug di kelenteng, mirip dengan ritual ibadah umat Islam di tanah air untuk menandakan waktu sembahyang. Namun, di kelenteng, bedug digunakan sebagai pengiring ritual ketika jemaat berdoa, tujuannya agar lebih khidmat dan khusyu.

“Patung Budha besar yang berada di ruang tengah, sudah ada sejak kelenteng ini didirikan, sedangkan dua buah patung naga besar di kolom itu, baru beberapa tahun yang lalu  dibuat”, tutur Susanto sambil menunjuk ke arah patung naga di ruang altar. Patung Budha di kelenteng ini berukuran cukup besar, tingginya hampir mencapai langit-langit kelenteng. Dan di sudut ruang belakang terdapat sebuah patung Budha Tertawa, bertubuh tambun, berkepala plontos, dan sedang tertawa gembira.

Kelenteng Sin Tek Bio merupakan salah satu dari banyaknya tempat ibadah yang usianya ratusan tahun di Jakarta, dan ini menggambarkan keharmonisan umat beragama di jaman Batavia tempo doeloe. Sudah sepantasnya kita yang hidup di jaman sekarang ini harus bisa menjaga, merawat dan melestarikan bangunan-bangunan tua sebagai suatu kebanggaan atas kekayaan keragaman etnis dan budaya di tanah air.

GEREJA AYAM, WARISAN SEJARAH BELANDA DI SUDUT PASAR BARU

Oleh Rijanta Felix

Tak lama setelah berjalan keluar dari Pasar Baru, Jakarta, mata saya menilik sebuah pemandangan menarik. Ada sebuah gereja bergaya arsitektur khas Eropa yang unik. Kulitnya berwarna krem cerah, terawat dengan rapih. Di sebelah kiri dan kanan bangunan ada dua buah pilar yang berdiri gagah, terlihat seperti mercusuar di tepi laut. Pada bagian puncak bangunan ada kubah kecil dimana pada bagian atasnya bertengger perkasa simbol ayam jantan yang seolah-olah berkuasa atas bangunan itu. Tak heran, kemudian orang menamainya gereja ayam.

Rasa penasaran kemudian lahir. Pertanyaan pun timbul. Untuk apa sebenarnya simbol ayam itu dipasang? Apa tujuannya? Apa arti simbol itu?

Saya kemudian melangkahkan kaki masuk ke gereja, dengan maksud menggali informasi sebanyak mungkin untuk memuaskan kuriositas yang menggantung di kepala. Penjaga gereja menyambut ramah, kemudian mengantar saya untuk bertemu dengan Estefanus O Louis, ketua majelis jemaat gereja. Saya kemudian mulai berbincang dan bertanya kepadanya.

“Gereja ini dibangun tahun mulai tahun 1913 hingga 1915 oleh dua arsitek asal Belanda, Ed Cuypers dan Hulswit. Awalnya bermula dari kapel kecil dan kemudian dirombak dan diperluas menjadi seperti sekarang ini,” papar Louis ramah, sambil menunjuk cetakan marmer pada dinding gereja yang merupakan keterangan bangunan dan ditulis dengan Bahasa Belanda.

“Arti simbol ayam dan mengapa dipasang pada puncak gereja adalah untuk mengingatkan umat Kristen akan kisah Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali. Simbol ayam itu dipasang agar umat Kristen selalu kuat dalam iman dan tidak goyah dalam kondisi apapaun sehingga tidak menyangkal Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, ” jawab Louis yang sangat piawai bermain orgen dan piano.

Interior di dalam gereja pun sangat menarik. Bangku-bangku panjangnya terlihat masih asli, terbuat dari kayu jati. Di bagian belakang terdapat juga kursi-kursi dari rotan yang terlihat orisinil. Mimbarnya pun unik, tergantung tinggi di tengah ruangan, seakan mengambang di udara. Pada dinding kiri, kanan dan depan bagian atas dipasang kaca patri cantik berbentuk lingkaran-lingakaran kecil seperti cetakan kue lumpur yang bergambar simbol-simbol ke-Kristenan.

Hal menarik lainnya yang dapat ditemukan di dalam ruangan gereja itu adalah sebuah Alkitab besar yang sedang tidur nyenyak di sebuah etalase kaca mirip akuarium. Alkitab itu bukan Alktab biasa. Alkitab itu adalah persembahan Ratu Sophia Frederika Mathilde yang dicetak tahun 1855.  Tebalnya pun sekitar dua tumpuk batako, dan sampulnya terbuat dari ukiran perunggu. Isinya tak hanya tulisan, dilengkapi juga dengan banyak ilustrasi gambar.

“Alkitab ini cuma ada dua di seluruh dunia, satu di sini dan satu lagi di Belanda. Karena usianya yang sudah tua, Alkitab ini pernah rusak dan kemudian dikirim ke Belanda untuk diperbaki, kira-kira waktu itu tahun 1991,” ujar Louis sambil membolak balik halaman Alkitab itu.

Hingga sekarang, gereja yang telah direnovasi empat kali itu masih aktif digunakan untuk beribadah umat Kristen, dua kali setiap hari Minggu, pagi pukul 09.00 dan sore pukul 18.00. Gereja yang terdaftar atas nama G.P.I.B PNIEL ini memiliki anggota jemaat sekitar 250 kepala keluarga.

Menikmati atmosfir gereja ini sanggup membuat saya seakan-akan berjalan dengan mesin waktu dan kembali ke masa lalu, ketika Belanda masih menjajah Indonesia tanpa rasa malu. Gereja ini ternyata mempunyai nilai sejarah dan mungkin masih banyak orang yang belum tahu.

“MONEY CHANGER” KAKI LIMA

Oleh: Fuad Mahfudin

Kegiatan perdagangan di Pasar Baru seakan tak pernah berhenti ditelan jaman. Diantaranya adalah Suwardi (70), pria kelahiran Padang – Sumatera Barat, merantau ke Jakarta pada tahun 1952. Sesampainya di Jakarta, dengan bermodal pas-pasan, Suwardi memulai usahanya dengan menjual mainan anak-anak di Pasar Baru.

Kehidupan ini ibarat roda, berputar mengelilingi sumbu nasib. Terkadang di atas, terkadang di tengah, dan terkadang berhenti di bawah dan tak ke atas lagi, hal itu terjadi jika poros nasib berhenti. Bahkan jika takdir sudah diputuskan, roda tak sengaja tertusuk duri, dan yang dibawah semakin berat menerima beban kehidupan. Bersyukur adalah pompa angin. Dan yang terjadi pada Suwardi adalah terus memompa roda agar dapat berjalan kembali, menggelinding dan berputar mengelilingi poros nasib. Sedangkan tujuan hanya Tuhan yang tahu.

Pertama kali datang ke Pasar Baru, Suwardi menjual mainan anak-anak dengan menggelarnya di teras toko milik teman sekampungnya. Namun seiring waktu, mainan yang dijual Suwardi jarang dilirik konsumen. Pada akhirnya Suwardi memutuskan untuk mencoba usaha  jual beli dolar. Menurut Suwardi bisnis ini adalah peluang emas, karena para pedagang di Pasar Baru tidak menerima uang asing dalam transaksinya.

“Turis asing harus menukarkan uang dolarnya ke mata uang rupiah terlebih dahulu, sebelum membeli barang-barang di Pasar Baru..”, ujar Suwardi ketika menjelaskan peluang emas sebagai penjual-beli dolar di Pasar Baru. Menurut Suwadi, Money Changer di Jakarta saat itu keberadaannya bisa dihitung dengan jari, bahkan di sekitar Pasar Baru sama sekali belum ada Money Changer.

Akhirnya pada tahun 1962, Suwardi mulai menekuni usaha Money Changer ala  ”kaki lima”. Walaupun usaha Suwardi terbilang kecil, ia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setelah beberapa tahun menikmati keuntungan dari penjualan dolar, kerikil tajam menerpa Suwardi. Sekitar tahun 1977 an, usaha penjualan dolar Suwardi mulai merosot drastis,  disebabkan banyak Money Changer  besar yang bermunculan di Jakarta.

“Ikan-ikan kecil dimakan oleh ikan-ikan besar..”, mengambil sebait lirik lagu milik Iwan Fals untuk menggambarkan kondisi yang dialami Suwardi saat itu. Ketika usaha jual-beli dolar  Suwardi mulai rapuh, terlindas oleh maraknya bisnis Money Changer  di Jakarta,  ia mencoba usaha jual-beli uang kuno. Menurut Suwardi  prospeknya cukup menjanjikan. Analisis Suwardi didapatkan dari meningkatnya kolektor uang kuno yang hunting ke Pasar Baru saat itu.

Pada tahun 1977 an, Suwardi mulai memajang beberapa uang kuno di etalase miliknya. Pada awalnya Suwardi menjual uang kuno dari berbagai negara. Namun seiring waktu, para kolektor jarang membeli uang kuno asing. Sejak saat itu,  ia hanya menjual uang kuno rupiah saja. Keuntungan dari penjualan uang kuno menurut Suwardi tergantung dari tingkat kelangkaannya. Sebagai contoh, suatu hari Suwardi pernah menjual uang kuno zaman Presiden Soekarno, dan dari transaksi itu  dapat  meraup keuntungan hingga sepuluh kali lipat.

Badai telah berlalu. Analisis usaha Suwardi ternyata tepat, uang kuno yang dijualnya banyak dicari oleh para kolektor. “Kolektor uang kuno yang datang ke tampat saya banyak dari kalangan anak muda”, ujar Suwardi. Kebahagiaan Suwardi sebagai penjual uang kuno adalah ketika mendapatkan uang kuno dengan harga yang  murah dan dijual kembali ke kolektor dengan harga yang mahal.

Bisnis jual-beli dolar dan uang kuno, ternyata tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kali Suwardi pernah mendapatkan uang palsu. Namun dengan berbekal pengalaman dan sering membaca buku seputar uang kuno, sekarang ia sudah bisa membedakan uang asli dan uang palsu.

“Sekarang ini para pembeli uang kuno bukan hanya dari kalangan kolektor saja tetapi juga calon mempelai yang memerlukannya sebagai mahar pernikahan”,  ujar Suwardi dengan logat agak khas melayu. Menurut Suwardi, calon mempelai pengantin umumnya mencari uang kuno pecahan, seperti uang satu rupiah, lima rupiah dan sepuluh rupiah, yang jumlahnya berdasarkan dari tanggal kalender pernikahan mereka.

“Ya hasilnya lumayanlah buat kebutuhan sehari-hari.., kira-kira sekitar tiga juta rupiah dalam sebulan..”, ujar Suwardi sambil tersenyum lebar ketika ditanya kisaran keuntungan yang didapatnya per bulan . Kebahagiaan yang terpancar dari wajah Suwardi , tersirat rasa syukur atas nikmat yang berikan Tuhan kepadanya. Di dunia yang penuh fatamorgana ini, tidak sedikit orang yang miskin syukur dan terus merasa kekurangan, sehingga mengabstraksikan kesuksesan yang diterimanya. Bagi Suwardi kesuksesan itu adalah disaat mendapatkan uang kuno dengan harga murah, dan menjualnya kembali dengan harga mahal.

Sosok seorang Suwardi sebagai pelaku sejarah perkembangan Pasar Baru, pernah mengalami beberapa kali  ditangkap Polisi Perintis di jaman Orde Lama. Saat itu  menjual uang dolar tanpa ada izin usaha adalah kegiatan yang melanggar hukum. Mengingat usia Suwardi  yang sudah cukup tua untuk mengurusi usahanya sendirian, sekarang ia dibantu oleh seorang putranya yang baru lulus SMA. Tidak menutup kemungkinan, anak Suwardi sebagai generasi penerus usaha milik bapaknya, dengan doa dan kerja keras, ia bisa mewujudkan “Money Changer” dalam arti yang sesungguhnya.